Monday, January 11, 2010

Tugas softskill










Kali Ciliwung Selasa, 05 Januari 10

Ci Liwung

Ci Liwung di timur Pulo Geulis, Bogor.

Ibu-ibu mencuci di tepian Ci Liwung. Pulo Geulis.

Ci Liwung[1] atau, secara salah kaprah namun lebih populer, Sungai Ciliwung, adalah sebuah sungai besar di Pulau Jawa. Wilayah yang dilintasi Ci Liwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Jakarta.

Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di daerah Manggarai aliran Ci Liwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena dibuat kanal-kanal, seperti di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran.[2] Di Manggarai, dibuat Banjir Kanal Barat yang mengarah ke barat, lalu membelok ke utara melewati Tanah Abang, Tomang, Jembatan Lima, hingga ke Pluit.



Dari 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Ci Liwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman kumuh. Sungai ini juga dia

nggap sungai yang paling parah mengalami perusakan dibandingkan sungai-sungai lain yang mengalir di Jakarta. Selain karena daerah aliran sungai (DAS) di bagian hulu di Puncak dan Bogor yang rusak, DAS di Jakarta juga banyak mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan potensi penyebab banjir di Jakarta menjadi besar.

Sistem pengendalian banjir sungai ini mencakup pembuatan sejumlah pintu air/pos pengamatan banjir, yaitu di Katulampa (Bogor), Depok, Manggarai, serta Pintu Air Istiqlal. Pemerintah pernah merencanakan untuk membangun Waduk Ciawi di Gadog, Megamendung, Bogor sebagai cara untuk mengendalikan aliran sejak dari bagian hulu.


  1. ^ Nama aslinya adalah Ci (Kali) Haliwung (“haliwung” adalah bahasa Sunda untuk “keruh”) dan disebut dalam naskah Sunda “Bujangga Manik” (abad ke-15).
  2. ^ Kanal Molenvliet dibangun pada pertengahan abad ke-17 (lihat Batavia).

Jakarta Under Water

Upaya penanggulangan banjir Jakarta hampir seusia sejarah kota itu sendiri. Selalu tertatih-tatih dalam pelaksanaannya. Proyek Banjir Kanal Timur mesti didukung penataan daerah hulu dan ketersediaan daerah resapan.
Di tengah suasana banjir Jakarta yang mencekam, juga menjengkelkan, akhir pekan lalu, sebaris pesan singkat (SMS) beredar di kalangan pemakai telepon genggam: ”Jakarta telah sukses menyelenggarakan SEA GAMES dadakan.” Rupanya, dalam suasana serba kesal dan panik itu, masih ada yang sempat melempar humor pelesetan. Hiruk-pikuk orang bersiasat menghadapi limpasan air hujan yang meluap, membentuk genangan luas bagaikan laut, itulah yang disebut ‘’sea games”.

Sebuah pesan yang agak bernada sinis, tapi tak kehilangan rasa humor. Sikap itu seolah mewakili cara sebagian warga Jakarta memandang bencana yang menyergapnya. Kesulitan yang dialami disikapi secara datar saja. Tidak ada emosi yang meletup berlebihan. Mereka menerimanya sebagai ‘’sesuatu yang biasa”.

Lihat saja sikap Sonny Wiryawan, 39 tahun, seorang manajer madya di sebuah bank swasta besar yang tinggal di permukiman elite Kelapa Gading. Saat air mulai merambat naik menyusup ke dalam rumahnya, ia sigap memboyong istri dan tiga anaknya ke sebuah hotel bintang empat di kawasan Pancoran, Kamis malam pekan lalu. Ketika kembali ke Kelapa Gading, dengan segala perjuangan selama lima jam, ia kaget. Air sudah menggenang sedada.

Dengan susah payah, Sonny bisa mencapai rumahnya. Lalu lompat ke teras loteng dan memecahkan kaca jendela untuk masuk. Selama dua hari ia bertapa sendirian, membaca novel dengan lampu baterai, karena aliran listrik putus, di lantai dua. ”Habis, mau apa lagi?” katanya datar. Ia tak mau ambil risiko meninggalkan rumahnya di tengah isu penjarahan. ”Saya tidur-tiduran saja sambil menunggu air surut,” ujarnya, Senin lalu.

Boleh dibilang, sebagian besar warga Jakarta memang terbiasa menyambut air bah itu seperti menyongsong ritual lima tahunan. Mereka cenderung nerima saja, tanpa mencari-cari kambing hitam. Tetapi, untuk nasib Jakarta ke depan, sikap ini justru merisaukan. Bisa-bisa melenakan akan bahaya banjir-banjir mendatang, yang dari tahun ke tahun tampaknya semakin ganas.

Sebagai gambaran, selama tujuh tahun bermukim di Kelapa Gading, baru sekali ini Sonny diteror banjir sedada di rumahnya. Pada musibah banjir Februari 2002, air cuma masuk selutut. Dalam kasus ini pula, lorong underpass Dukuh Atas, yang melintang di bawah Jalan Sudirman, bisa memberi kesaksian tentang fenomena banjir yang makin mencemaskan ini.

Pada banjir Februari 1996, ketinggian air masih sepinggang orang dewasa. Lantas, pada 2002, genangan air bah menyisakan ruang sekitar satu meter dari bibir atas terowongan. Sedangkan pada banjir kali ini, luapan air hampir menyumpal seluruh ruang terowongan.

Memang, hingga kini belum ada angka resmi ihwal luas areal genangan banjir di Jakarta pada puncak hujan, akhir pekan lalu. Ada yang menyebut 60%, bahkan 70%, dari total 661 kilometer persegi wilayah DKI. Namun setidaknya, genangan kali ini jauh melampaui luas musibah pada 2002 yang diperkirakan ”hanya” 24%. Lagi pula, amukan banjir 2007 ini melanda Tangerang, Bekasi, dan Karawang.

Hujan yang turun di awal Februari 2007 itu memang teramat spesial. Pada puncak peristiwa Sabtu pekan lalu, menurut catatan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), jeluk hujan di kawasan Bogor mencapai 245 mm. Itu 24 jam saja. Angka ini jauh melampaui ”prestasi” hujan pada awal Februari 2002, yang mencatat rekor 200 mm. Tak mengherankan bila banjir kiriman pun mengalir deras melalui Kali Ciliwung, Cisadane, Sunter, Cipinang, dan Kali Bekasi.

Pada saat yang sama, curah hujan di dalam kota Jakarta sendiri tak kalah hebat. Masih merujuk data BMG, di Jakarta Pusat hari itu curah hujan mencapai 230 mm. Bahkan di daerah Cileduk, perbatasan DKI dengan Tangerang, curah hujan hari itu mencapai 339 mm per hari. ”Ini curah hujan tertinggi di Cileduk dalam kurun 40 tahun terakhir,” kata Ahmad Zakir, Kepala Sub-Bidang Informasi Meteorologi Publik. Sekadar untuk diketahui, curah hujan di atas 100 mm per hari masuk kategori sangat lebat.

Celakanya, guyuran hujan sangat lebat ini dihadapi oleh kawasan yang kapasitas serapan airnya semakin hari kian payah. Dulu, menurut Bambang Warsito, Kepala Staf Perencanaan Pengembangan Wilayah Ciliwung-Cisadane, Departemen Pekerjaan Umum (PU), dari setiap 100 mm air hujan yang jatuh di Jakarta, sekitar 40 mm terserap ke dalam tanah. Air limpasan 60 mm saja. Kini, yang terserap paling banyak hanya 15 mm alias 15%. Air limpasan pun makin menggila.

Hal itu terjadi karena daerah terbuka di Jakarta merosot dari tahun ke tahun. Ruang terbuka hijau (RTH), yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, dengan cepat terdesak oleh arus pembangunan fisik. Data Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan, tahun 1985 Jakarta masih memiliki RTH seluas 29%. Angka itu turun menjadi 25% pada 1995. Bahkan, mulai tahun 2000, angka RTH ini terjun bebas hingga tersisa 9,4% saja. Jauh dari kondisi ideal minimum yang 27,5%.

Kondisi di hulu sama runyamnya. Pada 1992, kawasan yang terbangun (untuk permukiman, wisata, infrastruktur jalan, dan keperluan lain) masih sekitar 101.000 hektare. Tahun 2006, wilayah ini mekar menjadi 225.000 hektare. Pada saat yang sama, kawasan bervegetasi merosot dari 665.000 hektare ke angka 541.000 hektare. Jelas, dari segi tata air, kapasitas daerah ini sudah tak memadai.

Memang banjir dan kota Jakarta seolah tidak bisa terpisahkan dalam sejarahnya. Jakarta, dulu Batavia, dan sebelumnya lagi Jayakarta, terletak di bibir teluk yang tenang di kawasan berawa yang rendah. Muara Kali Ciliwung menjadi pusat Batavia dulu, empat abad silam. Dari abad ke abad, Batavia pun tumbuh menjadi Jakarta, yang bertumpu di dataran rendah dengan sejumlah sungai di dalamnya.

Dari daerah Puncak mengalir Sungai Ciliwung sepanjang sekitar 60 kilometer. Di sebelah timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran Sunter, dan Cipinang, yang panjang badannya tidak lebih dari 30 kilometer. Di pusat dan barat ada Sungai Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, juga Angke, yang berhulu di selatan Jakarta, 20-30 kilometer dari pantai.

Meski pendek, pada musim banjir, sungai-sungai itu bisa menggila. Jika mengamuk, debit Kali Angke, misalnya, bisa mencapai 160 meter kubik per detik. Ciliwung bisa mengalirkan 250 meter kubik per detik. Sedangkan Kali Sunter 120 meter kubik per detik. Curah hujan yang tinggi adalah satu-satunya penyebab amukan sungai itu.

Sejarah mencatat, beberapa kali banjir besar melanda kota Jakarta dan merenggut korban jiwa serta harta penduduk. Antara lain pada 1621, 1654, dan 1918, semasa pemerintahan kolonial Belanda. Pada era pasca-kemerdekaan, amukan bah menerjang tahun 1976, 1996, 2002, dan terakhir tahun 2007 ini, yang mengakibatkan korban jiwa 29 orang.

Kedatangan banjir ini memiliki pola waktu yang sama, yakni jatuh di awal tahun. Utamanya Januari hingga awal Februari. Pada kedua bulan pembuka ini, curah hujan mencapai angka tertinggi. Hal ini tampak pada rekaman data curah hujan pantauan Stasiun Meteorologi 745, Kemayoran, satu dari enam stasiun di Jabotabek.

Pada musibah banjir 2002, menurut penuturan Nuraeni, Kepala Stasiun Meteorologi Kemayoran, kepada Hatim Ilwan dari Gatra, curah hujan bulan Desember 2001 tercatat 116 mm. Lantas melonjak menjadi 695 mm sepanjang Januari, dan bertahan di angka 634 mm pada Februari. Kemudian kembali anjlok pada bulan Maret hingga 306,3 mm.

Dari riwayat banjir ini juga jelas terlihat, dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap. Pada zaman kolonial Belanda frekuensinya pada kisaran 20 tahun, berikutnya menjadi per 10 tahun, dan kini lima tahunan. Perilaku ini tak lepas dari perubahan iklim global dan tata lingkungan Jakarta serta daerah-daerah penyangga di sebelah selatan.

Karena sudah ”nasib” Jakarta tak terpisahkan dari luapan banjir, penanggulangannya pun berlangsung sejak zaman baheula. Paling tidak, pada 1854 telah berdiri badan khusus yang bertugas mengurusi banjir, yakni Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal bakal Departemen PU, yang sekarang bernama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.

Hanya saja, instansi itu tak berkutik menghadapi perilaku sungai-sungai tropis yang variasi debitnya begitu tinggi. Debit Ciliwung, misalnya, di musim kemarau hanya 1-2 meter kubik per detik. Puncaknya terjadi pada 1873, ketika hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter. Sebagai sindiran kegagalan ini, warga memelesetkan BOW menjadi Batavia Onder Water.

Baru pada 1920 muncul konsep penanggulangan banjir yang komplet dari tim yang dipimpin Prof. H. van Breen. Konsep ini lahir setelah Jakarta dilanda banjir hebat pada 1918. Saat itu, Van Breen memperkenalkan konsep pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Selain itu, Breen juga menyarankan penimbunan daerah-daerah rendah.

Untuk itu, Van Breen menyarankan ada saluran kolektor di pinggiran selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut menyusuri tepian barat kota. Ini ditujukan untuk membelokkan aliran air, sehingga tidak langsung menerjang pusat kota. Saluran kolektor yang mulai dibangun pada 1922 ini di kemudian hari dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB).

Sungai buatan itu dibangun mulai dari titik aliran Sungai Ciliwung di Manggarai, kemudian membelok ke barat memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran ke dalam kota, BKB dilengkapi beberapa pintu air. Ada Pintu Air Manggarai untuk mengatur debit Sungai Ciliwung menuju kota dan Pintu Air Karet untuk mengatur aliran Kali Krukut dan Kali Cideng yang menuju Kali Angke.

Proyek penanggulangan banjir Breen itu cukup tangguh, setidaknya untuk kurun 40 tahun. Selama waktu itu, bisa dibilang Jakarta bebas dari banjir dahsyat. Namun, setelah era kemerdekaan, beban Jakarta makin berat. Permukiman menjamur, terutama di kawasan timur dan selatan yang berada di luar jangkauan BKB. Sejak itulah, Jakarta kembali selalu terancam banjir.

Pemerintah RI pun lantas membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta atau disingkat Kopro Banjir pada Februari 1965. Karena keterbatasan dana, Kopro Banjir hanya bisa sedikit mengembangkan konsep Breen. Mereka lebih memfokuskan pada pembangunan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompanisasi.

Hasil kerja mereka antara lain Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, dan Waduk Grogol. Ada juga Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat dan Timur. Kopro juga mengerjakan pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan gorong-gorong Jalan Sudirman.

Upaya lebih serius berlangsung ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, lahir Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan pada 1973 –karena itu, lebih dikenal sebagai Master Plan 1973. Konsep Breen masih menjadi acuan. Dalam Master Plan 1973 ini tertuang langkah menambah saluran BKB ke arah barat, yang kini dikenal sebagai Cengkareng Drain.

Satu lagi yang paling penting dari Master Plan 1973 adalah rencana pembuatan saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.

Tapi, lagi-lagi, ketidakadaan dana membuat proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa rampung tahun 2010. Proyek yang saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 4,124 trilyun ini akan membentang sepanjang 23,5 kilometer. Rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter, dengan kedalaman tiga meter.

Sebagian besar anggaran itu, yakni Rp 2,186 trilyun, untuk pembebasan lahan. Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta. Di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan.

Pemerintah menetapkannya berdasarkan nilai jual objek pajak, rata-rata Rp 500.000 per meter persegi. Tetapi, bagi warga, harga itu terlalu rendah. Proses pembebasan pun terganjal. Hingga kini, proyek BKT baru merangkak sepanjang 7,7 kilometer.

Berbagai kendala inilah yang membuat banyak pihak pesimistis atas skema pembangunan BKT. Malah beberapa pakar tata kota memandang, BKT bakal tidak bisa menjawab ancaman banjir pada masa mendatang. Apalagi proyek ini –kalau lancar– kelar tahun 2010, ketika kondisi Jakarta dan daerah penyangganya sudah banyak berubah.

Planolog Abdul Alim Alam berpendapat, banjir kanal sebetulnya hanya berperan memperlancar aliran sungai ke laut. Selain itu, juga membelokkan air menyusuri pinggiran hingga tak langsung menuju pusat kota. Tetapi daya tambung banjir kanal sangat terbatas pada volume yang masuk dari arah hulu. ”Apakah semua bisa tertampung,” katanya kepada Mukhlison S. Widodo dari Gatra.

Karenanya, menurut Abdul Alim, yang tak kalah penting adalah membuat agar air bisa sebanyak-banyaknya terserap ke dalam tanah. Bukan mengalir di permukaan. Kondisi ini bisa terjadi bila di daerah hulu atau selatan Jakarta memperluas areal RTH. Celakanya, yang terjadi justru sebaliknya. Lahan tangkapan air itu terus menyusut, tersudut oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok.

Jalan keluar lainnya pernah diusulkan konsultan dari Prancis dan Jepang. Intinya, keduanya menyarankan, untuk meredam banjir, perlu dibangun sejumlah reservoar yang bisa menampung sementara aliran air. Selain itu, direkomendasikan untuk merevitalisasi situ-situ yang sudah ada.

Namun rencana itu pun tinggal sebagai wacana.

Rencana pembangunan Bendung Depok, misalnya, bukannya terlaksana. Walau sudah dilakukan studi kelayakan, kini yang terjadi, di atas rencana areal bendungan itu terhampar perumahan elite. Nasib serupa menimpa situ-situ yang pernah ada, yang diperkirakan mencapai 200-an. Kondisinya sungguh menyedihkan. Sebagian sudah menghilang, berubah menjadi daratan.

No comments:

Post a Comment